Dara Pujaanku - True Love

DARA PUJAANKU _ Chicken Soup For The True Love Soul
 “Graviatasi tidak ikut campur ketika orang jatuh cinta”


Orang – orang sering bertanya kapan aku memastikan bahwa istriku yang sudah 25 tahun kunikahi ini adalah gadis yang diperuntukkan bagiku. Aku selalu mengatakan  kepada mereka bahwa aku sudah tahu bahkan sebelum aku tahu namanya.

Kisahnya berawal pada suatu siang di musim gugur yang cerah dan kering dihari pertama aku di kampus. Kejadian pada kuliahku yang pertama. Aku mengambil mata kuliah dasar Theater Crafts. Seoarang dosen pembimbingku meyakinkan aku bahwa mata kuliah itu bagus untukku agar mengenal berbagai jenis mahasiswa yang akan mengikuti program yang sama denganku selama empat tahun ke depan.

Maka di sanalah mereka - 40 remaja energik, gugup dan penuh semangat untuk merasakan kuliah yang pertama kali. Tak satupun dari kami yang akan tahu apa yang akan terjadi. Kami tidak saling mengenal. Kami semua hanya bertekad menunjukkan bahwa kami sangatlah berbakat. Aku berhasil mencpai tempat kuliah sedikit lebih awal untuk mengecek teman-teman sekelasku nanti. Ada si pirang di sini, ada si rambut merah keren di sana, dan si rambut coklat manis sedang duduk dengan sahabatnya di belakang.

Aku diam-diam berjalan ke sisi seberang ruangan aula dan memilih kursi di dekat deretab jendela. Aku merasa yakin saja cewek – cewek itu akan merasa “mana tahan” untuk tidak memperhatikan tampang kerenku yang pantas mendapat “pemeran utama”.

Tentu saja mata kuliah Theater Crafts bukanlah kulaih seni peran, namun kuliah itu semacam kulaih pengantar. Maka setelah 1,5 jam mendapatkan kuliah teater Barat, profesor kami mengumumkan sudah waktunya kami untuk sedikit praktik. Kami semua berharap itu artinya kami bisa naik panggung. Lalu turun lagi. Bahkan, profesor kami membariskan kami ke lantai bawah menuju auditorium utama, naik melewati panggung, dan keluar ke belakang panggung, menuju ke workshop. Suara kekecewaan bisa terdengar sampai ke lobi.

“Baiklah,” kata profesor kami, tanpa menahan tawanya, “Saya tahu kalian adlah calon aktor pemenang Oscar ingin berdiri di depan layar panggung saat ini (Ironisnya, salah seorang teman kami ini memang kemudian memenangkan Academy Award), “tapi disinilah,” dia mengatakan,”Semua berawal. Disinilah tempat kalian bersusah payah. Teather bukan soal yang gemerlapan dan tepuk tangan. Teater adalah kerja keras. Menyingsingkan lengan baju ketika ada yang harus diselesaikan. Dan bicara soal menyingsingkan lengan baju, tugas pertama kalian adalah membersihkan area gudang dan membuang sampahnya ke dalam tong sampah Dumpster di belakang.” Kemudian terdengar gemuruh riuh keluhan.

Bagiku tugas itu sama sekali bukanlah beban, tetapi bebera cewek tidak terlalu senang menerimanya. Mereka datang dengan dandanan untuk mengesankan. Tata rias yang tanpa celah, rambut yang telah di tata rapi, dan kuku dan tangan yang baru saya di rawat. Mereka tidak berencana untuk berkotor-kotor dalam menggali bakat mereka. Maka para cowokpun bisa pamer dengan mengangkat benda – benda yang bsar, sementara cewek-cewek mengumpulkan yang kecil-kecil semampu yang dapat mereka bawa.

Karena letak tong sampah Dumster ada di pangan parkir,  itu artinya akan melewati serangkaian aula dan keluar dari pintu darurat, maka kami pun mesti membuat brigade ember. Seorang mengangkat hiasan panggung, membawanya ke aula, dan menyerahkan ke seoarng yang lain, yang kan membawanya ke aula berikutnya dan menyerahkan ke orang berikutnya. Dan seterusnya dan seterusnya sampai benda itu sampai tiba ditangan seorang yang akan mengangkat dan membuangnya ke tong sampah Dumpster. Itulah aku.

Aku telah berada di sana selama 20 menit dan melakukannya dengan sangat baik. Sipirang yang aku lihat di kelas meyeret sebatang kayu sepanajng dua kaki dengan anggun kelemparkan ke dalam tong sampah dumpster dengan satu tangan saja. Sirambut mereah menemukan sebuah kanvas yang kulontarkan ke belakang lewat bahuku dengan ringan. Lalu munculah Catherine. Hanya saja ketika itu aku belum tahu namanya.

Catherine adalah gadis teman si rambut coklat manis yang duduknya dibagian belakang kelas. Dia benar – benar mencurahkan perhatian pada waktu kuliah dan mengajukan beberapa pertanyaan cerdas. Dia juga menggunakan kemeja flanel dan celana jins biru. Tata rias wajahnya sangat samar dan tidak mengeluh ketika diminta untuk mengangkat sampah.

Catherine menyeret selembar papan ukuran kayu ukuran 60 x 180 cm. Lembaran kayu ini adalah bingkai kayu yang ditutupi kain kanvas. Begitu di cat, papan ini dapat digunakan untuk menggambarkan apapun, mulai dari dinding taman hingga langit yang jernih. Mesti tidak terlalu berat,  membawanya repot. Aku terkejut melihat dia memilih memungut sesuatu yang beratnya lebih dari 1,5 kg.

“Terima kasih, nona manis,” kataku ketika membungkuk menjangkau papan itu. Kurasa  kata “Nona Manis” itulah yang membuatnya terkesan.

“Tak usah,” katanya. “aku bisa sendiri.”
“Hei,” jawabku dengan senyum Brad Pit atau Lee Min Ho?? Yang paling manis. “Aku di sini biar aku bantu”

Catherin menjawabku dengan gelengan kepala dan berkata “Minggir”
“Maaf, apa katamu???” Catherine mengulangi instruksi dengan perlahan. “Ming—gir”

Aku sedang bertengger di pinggir sebuah tong sampah besar Dumpster dan ketinggian pinggiran sampah baja itu mencapai 1,8 meter hingga 2 meter dari tanah. Aku tidak yakin dia bisa melakukannya.

“Begini,” kataku, “Mengapa tidak aku saja yang,,,,,???”
Tanpa epatah katapun Catherine mengayunkan tangannya ke belakang, memegangi papan itu dengan ke dua tangannya, dan melangkah maju untuk memutarnya. Aku tanpa terasa merunduk tepat ketika papan 60 x 180 itu melayang tipis di atas kepalaku dan masuk ke dalam tong sampah dumpster. Tong baja ini bertentang ketika papan itu mencapai dasar. Aku menoleh tepat untuk menangkap senyum Catherine ketika dia memberiku anggukan, mengibas-ibaskan tangannya, dan berlalu. Aku ingat menciut disana, karena nyaris saja dihantam oleh properti panggung yang melayang, dan berfikir “Cewek Perkasa”.

Pada saat itulah aku belajar tentang seluruh hal yang perlu kuketahui tentang calon istriku itu. Aku belajar tentang keperkasaannya (Baik raga maupun karakternya): aku belajar tentang kekeraskepalaannya soal kemandirian, dan belajar tentang selera humornya yang nakal. Perlu 2 tahun sebelum kami mulai berpacaran dan 5 tahun sebelum kami menikah. Tapi pada hari itu, di tong sampah Dumpster itu, aku berjumpa dengan gadis impianku. Aku hanya perlu menunggu lututku berhenti bergetar untuk menyadarinya.

Artur Sanchez --- Chicken Soup For The Soul __ “Snowqueen”